Jeneng..bukan jenang [kuliah umum di pasar gawok]

Hari itu sebuah sabtu pon yang masih kriyip-kriyip..

malem yang sebelumnya ujan menambah malesnya badan bergerak untuk memenuhi janji sore sebelumnya, janji yang terucapkan oleh bbrapa org teman utk melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang mampu membawa kita ke masa lampau.

Sms pertama di replay dgn “z.zz. zz zzz..z…” telp yang nekat dilakukan ke teman yang laen hanya menjadi sebuah miskol, takut keabisan pagi yang berembun ku tekati jalan sendiri menuju selatan keluar kota Solo..

Perjalanan melawan arus konvoi sepeda itu menambahb perasaan keterasingan ku [halah], gimana g terasing la semua orang dengan bersepeda onthel bergegas berbondong-bondong masuk kota solo [hanya aku yang menuju arah sebaliknya] bukan untuk fun bike melainkan untuk “bercocok tanam” di kota, sebuah potret masyarakat urban yang sudah g percaya lagi untuk mencari makan di desa [maap opini pribadi J g pa ya..jika salah dikoreksi]

Setelah ketemu sebuah stasiun kecil bin kyone tua [semua stasiun di indonesia tua deh..la cm tinggalan kompeni] ku belokkan stang kekiri untuk kemudian ikuti jalan yang menuntunku nyampe disebuah pasar yang disebut sebagai pasar gawok.

Pasar gawok..pasar yang ada entah sejak jaman kapan, berada dipinggiran sungai kecil disebuah desa di Gawok ato Gathak ya..[agak bingung aku]. Pasar ini cuma ada di hari pasaran yaitu hari pon [sebuah hari dalam penanggalan jawa] kebetulan hari itu sabtu pon, bakalan seru ni..karna biasane pasar akan rame jika pon jatuh di hari sabtu ato minggu.

Keunikan Pasar Gawok ada di model los kiosnya dan jenis dagangan nya,

Unsur klasik dan lampaunya dari pasar gawok adalah keberadaan blantik [pedagang hewan] dan pande besi yang masih eksis di pasar ini.

 

terlihat banyak pelanggan yang memperbaiki mata cangkulnya, menyambung gagang arit nya yang putus dan ada pula yang sekedar mengganti pegangan parang/goloknya yang kayunya da hampir pecah. Adegan inilah yang menjadi pemandangan unik di pasar gawok yang mungkin tidak kita dapati ditempat laen. Adegan transaksi jual beli maupun reparasi pelanggan dengan pande besi.

 

Setelah gerah dengan kompor si pande besi yang terus ngosos, ku coba bergeser ke sudut laen, disudut gerbang pasar itu terlihat sebuah lincak [bangku dari bambu] yang menggodaku, lincak kepunyaan tukang cukur keliling. Tanpa basa-basi ku duduk dan kemudian di sapaku oleh si tukang cukur.. ‘cape mas?” waduh tau aja ni bapak klo lg kringetan gini..ku jawab sekenanya hingga dia coba meperkenalkan diri sambil mulai ngajak ngobrol dengan tangan nya terus bergerak menyelesaikan tugas dari pasiennya. Pak Yatno namanya, jadi tukang cukur keliling sudah sejak tahun 1968, Sebuah obrolan panjang yang bagiku bagai kuliah umum..sebuah kuliah umum tentang pengalaman hidup dia yang sanggup menyekolahkan putra nya hingga ke jepang.

 

Mendengar tutorial idup yang beliau paparkan seperti menampar-namparku sebagai orang yang masih jauh dari profesional dan berintegritas apalagi manusia yang sanggup berbagi. Quote yang bakalan terngiang-ngiang di telinga adalah paparan beliau tentang “marketing strategy” nya yang telah membuktikan bahwa beliau sanggup bertahan berpuluh-puluh tahun hingga sekarang dan punya pelanggan dimana-mana, yaitu bahwa orang idup itu “golek jeneng ora golek jenang” nyari nama baik [jeneng] dulu bukan blom-blom mikir makan/duit [jenang] wadoooow..mrinding dibuat e, strategi marketing yang simpel yang melarut dalam filosofi laku dan langkahnya dalam melayani pelanggan maupun dalam mampir ngombe nya di dunia. [pulangku bakalan bengkak bonyok ni muka, kena tamparan kata-katanya]